
POLITIK TATA RUANG ETNIK BELANDA & PENETRASI KOLONIAL DI TANOH PAKPAK 1887—1942
Author: Anna Martyna Sinamo Category: Pakpak, Sejarah Penerbit: GENESISMO Tanggal Terbit: 2025 ISBN: Dalam proses Halaman: 185 Negara: Indonesia Bahasa: Bahasa Indonesia Dimensi: A5 Unesco: 15,5 x 23 cmMelalui metode sejarah, buku ini mengkaji tentang ”Politik Tata Ruang Etnik, Penetrasi Kolonial Belanda dan Disintegrasi Suku Pakpak di Keresidenan Tapanuli, Sumatera Utara, 1878 – 1942.” Politik tata ruang etnik telah menyebabkan pecahnya Tanoh Pakpak ke dalam tiga keresidenan dalam konteks penaklukan Batak Landen yang diinisiasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Penaklukan tersebut direkonstruksi melalui politik tata ruang etnik sebagai strategi penaklukan, yang berakhir pada terjadinya marginalisasi dan disintegrasi budaya Suku Pakpak. Dairi Landen menjadi salah satu Onder Afdeling Batak Landen di Keresidenan Tapanuli. Setelah digabungkannya Dairi Landen pada Keresidenan Tapanuli, ternyata Onder Afdeling Dairi Landen hanya memuat Suak Pegagan, Keppas dan Simsim, sedangkan Suak Boang masuk ke Keresidenan Aceh, dan Suak Kelasen masuk ke Batak Landen. Berkurangnya tanah ulayat Suku Pakpak tersebut juga diiringi dengan masuknya zending Batak yang membawa agama Kristen ke Tanoh Pakpak. Perubahan yang terjadi adalah diberlakukannya adatrecht untuk menggantikan adat istiadat dan kepercayaan tradisional Pakpak, sekaligus meng stigma negatif suku Pakpak sebagai primitif, pagan, penyembah berhala dan uncivilized. Pada masa Keresidenan Tapanuli juga migrasi orang Toba ke Tanoh Pakpak sebanyak 20.000 orang yang pada akhirnya mendominasi di Tanoh Pakpak. Biasanya penetrasi kolonial Belanda di suatu wilayah memperkuat budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan kolonial Belanda yaitu dengan mempertajam identitas budaya agar tidak bersatu, tetapi di Tanoh Pakpak Pemerintah Kolonial Belanda justru menghancurkan budaya lokal yang telah memberikan tekanan ganda kepada orang Pakpak. Pada masa Keresidenan Tapanuli juga ditemukan pembangunan rumah candu di Sidikalang dan di Salak, sebagai strategi pelemahan dan pembodohan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial kepada para pemimpin tradisional agar tidak melakukan perlawanan dalam rangka pembentukan pemerintahan kolonial dengan mengganti Raja Aur menjadi Raja Ekuten dan Pertaki menjadi Kepala Negeri. Perubahan kepemimpinan juga terjadi karena raja ekuten dan Kepala Negeri itu adalah orang-orang yang diberikan persetujuan oleh Belanda. Candu opium merupakan strategi yang dilakukan untuk menghindari peperangan secara terbuka, karena orang Pakpak dikenal sebagai pelindung dan pendukung Sisingamangaraja XII yang bersembunyi di tanoh Pakpak sejak benteng Bakkara dibakar habis pada perang Toba II pada 1887. Proses penaklukan Batak Landen dan onder afdeling Dairi Landen melalui pendirian Keresidenan Tapanuli adalah strategi penaklukan kolonial Belanda tanpa perang terbuka tetapi didahului oleh zending Batak untuk mencegah Islam menguasai Tanoh Pakpak lewat kerjasama Kolonial Belanda dan Toba. Akibat dari politik tata ruang tersebut budaya lokal hancur yang menyebabkan terjadinya marginalisasi dan disintegrasi budaya di Tanoh Pakpak.